David
Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. Inilah yang
membedakan Ausubel dari teoriwan-teoriwan lainnya. Ausubel memberi
penekanan pada belajar bermakna, serta retensi dan variabel variabel
yang berhubungan dengan macam belajar ini.
A. PENGERTIAN TEORI BELAJAR
Teori
belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara
pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa,
perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun
di luar kelas. Namun teori belajar ini tidaklah semudah yang dikira,
dalam prosesnya teori belajar ini membutuhkan berbagai sumber sarana
yang dapat menunjang, seperti:
lingkungan siswa, kondisi psikologi siswa, perbedaan tingkat kecerdasan siswa.
lingkungan siswa, kondisi psikologi siswa, perbedaan tingkat kecerdasan siswa.
Semua
unsur ini dapat dijadikan bahan acuan untuk menciptakan suatu model
teori belajar yang dianggap cocok, tidak perlu terpaku dengan kurikulum
yang ada asalkan tujuan dari teori belajar ini sama dengan tujuan
pendidikan.
Menurut
Ausubel dalam (Dahar, 1988: 134) belajar dapat diklasifikasikan ke
dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi
atau materi disajikan pada siswa, melalui penemuan atau penerimaan.
Belajar
penerimaan menyajikan materi dalam bentuk final, dan belajar penemuan
mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi
yang diajarkan. Dimensi kedua berkaitan dengan bagaimana cara siswa
dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran pada struktur kognitif
yang telah dimilikinya, ini berarti belajar bermakna. Akan tetapi jika
siswa hanya mencoba-coba menghapal informasi baru tanpa menghubungkan
dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya, maka
dalam hal ini terjadi belajar hafalan.
Bentuk-Bentuk Belajar
(Menurut Ausubel & Robinson, 1969)
B. Pengertian Belajar Bermakna
Bentuk-Bentuk Belajar
(Menurut Ausubel & Robinson, 1969)
B. Pengertian Belajar Bermakna
Sebagai
pelopor aliran kognitif, David Ausubel mengemukakan teori belajar
bermakna (meaningful learning). Belajar bermakna adalah proses
mengaitkan dalam informasi baru dengan konsep-konsep yang relevan dan
terdapat dalam struktur kognitif seseorang. (Ratna Willis Dahar: 1996).
Selanjutnya dikatakan bahwa pembelajaran dapat menimbulkan belajar bermakna jika memenuhi prasyarat, yaitu:
1. Materi yang akan dipelajari secara Potensial
2. Anak yang belajar bertujuan melaksanakan belajar bermakna.
2. Anak yang belajar bertujuan melaksanakan belajar bermakna.
Kebermaknaan
materi pelajaran secara potensial tergantung dari materi itu memiliki
kebermaknaan logis dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam
struktur kognitif siswa. Bedasarkan Pandangannya tentang belajar
bermakna, maka David Ausubel mengajukan 4 prinsip pembelajaran , yaitu:
1. Pengatur awal (advance organizer)
Pengatur
awal atau bahan pengait dapat digunakan guru dalam membantu mengaitkan
konsep lama dengan konsep baru yang lebih tinggi maknanya.
Penggunaan
pengatur awal tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam materi ,
terutama materi pelajaran yang telah mempunyai struktur yang teratur.
Pada saat mengawali pembelajaran dengan prestasi suatu pokok bahasan
sebaiknya “pengatur awal” itu digunakan, sehingga pembelajaran akan
lebih bermakna.
2. Diferensiasi progresif
Dalam
proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi
konsep-konsep. Caranya unsur yang paling umum dan inklusif diperkenalkan
dahulu kemudian baru yang lebih mendetail, berarti proses pembelajaran
dari umum ke khusus.
3. Belajar superordinat
Belajar
superordinat adalah proses struktur kognitif yang mengalami petumbuhan
kearah deferensiasi, terjadi sejak perolehan informasi dan diasosiasikan
dengan konsep dalam struktur kognitif tersebut. Proses belajar tersebut
akan terus berlangsung hingga pada suatu saat ditemukan hal-hal baru.
Belajar superordinat akan terjadi bila konsep- konsep yang lebih luas
dan inklusif.
4. Penyesuaian Integratif
Pada
suatu saat siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau
lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila
nama yang sama diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi
pertentangan kognitif itu, Ausubel mengajukan konsep pembelajaran
penyesuaian integratif Caranya materi pelajaran disusun sedemikian rupa,
sehingga guru dapat menggunakan hierarki-hierarki konseptual ke atas
dan ke bawah selama informasi disajikan.
C. PROSES PEMBELAJARAN BERMAKNA
C. PROSES PEMBELAJARAN BERMAKNA
Piaget
telah dikenal luas sebagai salah seorang ahli perkembangan kognitif.
Sebagai penghargaan kepadanya, Wadsworth (1984:v) menulis: “To Jean
Piaget and Stephen Davol – Two men who understood children, development,
and how to help others learn.”
Teori-teori
belajar yang dikemukakan Piaget, Brownel, Skemp, Ausubel ataupun yang
lainnya memang dapat dipakai para guru untuk membantu siswanya belajar
dengan baik. Teori-teori yang ditulis Piaget telah didasarkan pada hasil
interviu klinis dengan beberapa orang anak, termasuk dengan dua
putrinya sendiri. Awalnya, anak tersebut dihadapkan dengan suatu tugas
atau persoalan. Selanjutnya, si anak diminta mengungkapkan secara lisan
hal-hal yang sedang dipikirkannya.
Pertanyaan-pertanyaan
berikutnya dapat diajukan penginterviu yang bertindak sebagai peneliti
sedemikian rupa sehingga si anak tersebut dapat menjelaskan dan
mengungkapkan secara lebih jauh dan terinci alasan-alasan di balik
pendapatnya itu (Resnick & Ford, 1981). Sejalan dengan itu,
Shadiq (1999) telah belajar dari seorang anak kecil, Nani, yang telah
memberi nama “batu lengket” untuk magnet karena magnet tersebut mirip
sekali dengan batu-batuan yang ada dibelakang rumahnya.
Tentunya,
pendapat itu salah karena tidak sesuai dengan pengetahuan Fisika.
Meskipun begitu, si Nani akan tetap menganggap pendapatnya itu benar.
Itulah sebabnya, setiap anak selalu dengan yakin dan mantap akan
menceritakan jalan pikirannya sendiri, tidak peduli pendapatnya tersebut
benar atau salah, sehingga lebih mudah untuk dipelajari orang-orang
disekitarnya seperti yang sudah dilakukan Piaget. Tulisan tentang
‘belajar bermakna’ sebagai lawan dari ‘belajar hafalan’ atau ‘belajar
dengan membeo’ berikut ini akan dimulai dengan ceritera tentang si Nani
lagi.
Tentunya,
si Nani yang waktu itu berlagak seperti seorang guru TK terhadap
bapaknya tidak akan menyadari jika dia dianggap seperti burung beo oleh
bapaknya. Pada suatu hari, Fitriani Fajar yang waktu itu berumur sekitar
4,5 tahun dan masih duduk di bangku TK bertanya kepada bapaknya. Dari
nada bicaranya tergambar bahwa ia ingin menguji apakah bapaknya sudah
tahu tentang penjumlahan dua bilangan yang baru saja ia pelajari dari
temannya.
Percakapan mereka adalah sebagai berikut (N =Nani, B = Bapaknya).
N: “Bapak! Dua tambah dua berapa? Ayo …!”
B: “Menurut Nani?”
N: “Bapak dulu.”
B: “Oke. Oke. Dua tambah dua sama dengan empat.”
N: “Betul.” Ia berlagak seperti guru TK yang membenarkan jawaban
siswanya.
B: “Tahu dari mana bahwa dua tambah dua sama dengan empat?”
N: “Dari Ari. Ari tahu dari bapaknya.”
B: “Nani percaya?”
N: “Ya. Bapaknya Ari kan pintar.”
B: “Kenapa dua tambah dua sama dengan empat?”
N: “Ya karena dua tambah dua sama dengan empat.”
B: “Kalau satu tambah dua?”
N: “Nani belum tahu.”
B: “Kenapa?”
N: “Ari belum memberi tahu. Mungkin bapaknya belum mengajarinya.”
B: “Kalau satu tambah satu?”
N: “Dua.”
B: “Ah masak?”
N: “Tiga … tiga … tiga … .”
B: “Yang benar. Masak tiga.”
N: “Empat … empat … ! Lima …! Tujuh … tujuh … . Kalau begitu
berapa?”
B: “Ya dua.”
N: “Nani kan sudah bilang dua tadi. E … bapak menipu.”
N: “Bapak! Dua tambah dua berapa? Ayo …!”
B: “Menurut Nani?”
N: “Bapak dulu.”
B: “Oke. Oke. Dua tambah dua sama dengan empat.”
N: “Betul.” Ia berlagak seperti guru TK yang membenarkan jawaban
siswanya.
B: “Tahu dari mana bahwa dua tambah dua sama dengan empat?”
N: “Dari Ari. Ari tahu dari bapaknya.”
B: “Nani percaya?”
N: “Ya. Bapaknya Ari kan pintar.”
B: “Kenapa dua tambah dua sama dengan empat?”
N: “Ya karena dua tambah dua sama dengan empat.”
B: “Kalau satu tambah dua?”
N: “Nani belum tahu.”
B: “Kenapa?”
N: “Ari belum memberi tahu. Mungkin bapaknya belum mengajarinya.”
B: “Kalau satu tambah satu?”
N: “Dua.”
B: “Ah masak?”
N: “Tiga … tiga … tiga … .”
B: “Yang benar. Masak tiga.”
N: “Empat … empat … ! Lima …! Tujuh … tujuh … . Kalau begitu
berapa?”
B: “Ya dua.”
N: “Nani kan sudah bilang dua tadi. E … bapak menipu.”
Nani
telah menunjukkan kepada kita bahwa ia telah mampu dengan benar atau
kompeten menentukan nilai dari penjumlahan 2 + 2 ataupun 1 + 1. Namun,
apakah ia memahami mengapa dan darimana 2 + 2 = 4 dan 1 + 1 = 2? Ketika
ia ditanya bapaknya mengapa 2 + 2 = 4?, ia menjawab: ”Ya karena 2 + 2 =
4,” tanpa alasan yang jelas. Artinya, si Nani hanya meniru pada apa yang
diucapkan teman sebayanya yaitu si Ari. Tidaklah salah jika ada orang
yang lalu menyatakan bahwa si Nani telah belajar dengan membeo.
Seperti
halnya seekor burung beo yang dapat menirukan ucapan tertentu namun
sama sekali tidak mengerti isi ucapannya tersebut, maka seperti itulah
si Nani yang dapat menjawab bahwa 2 + 2 adalah 4 namun ia sama sekali
tidak tahu arti 2 + 2 dan tidak tahu juga mengapa hasilnya harus 4. Jika
si Ari, temannya, menyatakan 2 + 3 = 5 maka sangat besar kemungkinannya
jika si Nani akan mengikutinya. Cara belajar dengan membeo seperti yang
telah dilakukan si Nani tadi disebut dengan belajar hafalan (rote
learning) oleh David P Ausubel (Orton, 1987).
D. Menghindari Belajar Hafalan
D. Menghindari Belajar Hafalan
Pertanyaan
yang mungkin muncul adalah apa yang dimaksud dengan belajar hafalan
(rote learning). Ausubel menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Bell
(1978: 132): “…, if the learner’s intention is to memorise it verbatim,
i,e., as a series of arbitrarily related word, both the learning
process and the learning outcome must necessarily be rote and
meaningless”. Intinya, jika seorang anak, contohnya si Nani,
berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu
dengan hal yang lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat
dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna sama sekali
baginya.
Contoh
lain yang dapat dikemukakan tentang belajar hafalan ini adalah beberapa
siswa SD kelas 1 ataui 2 yang dapat mengucapkan: “Ini Budi. Ini Ibu
Budi,” namun ia tidak dapat menentukan sama sekali mana yang “i” dan
mana yang “di”. Contoh lain dari belajar menghafal adalah siswa yang
dapat mengingat dan menyatakan rumus luas persegipanjang adalah l = p ×
l, namun ia tidak bisa menentukan luas suatu persegi panjang karena ia
tidak tahu arti lambang l, p, dan l.
Salah
satu kelemahan dari belajar hafalan atau belajar membeo telah
ditunjukkan Nani di mana jawaban yang benar, yaitu 1 + 1 = 2, diubah
dengan jawaban yang lain ketika jawaban tersebut pura-pura dianggap
sebagai jawaban yang salah oleh bapaknya. Intinya, si Nani tidak
memiliki dasar yang kuat untuk meyakinkan dirinya sendiri, apalagi
meyakinkan orang lain bahwa 1 + 1 = 2. Lebih celaka lagi kalau temannya
tadi mengajari Nani bahwa 1 + 1 = 4 dan 2 + 2 = 6. Tidak mustahil jika
ia mengikutinya. Di samping itu, ia tidak bisa menjawab soal baru
seperti 1 + 2 maupun 2 + 1 karena temannya belum mengajari hal itu.
Materi pelajaran matematika bukanlah pengetahuan yang terpisah-pisah
namun merupakan pengetahuan yang saling berkait antara pengetahuan yang
satu dengan pengetahuan lainnya. Seorang anak atau siswa tidak akan
memahami pengertian penjumlahan dua bilangan jika ia tidak tahu arti
dari “1” maupun “2”. Ia harus tahu bahwa “1” menunjuk pada banyaknya
sesuatu yang tunggal seperti banyaknya kepala, mulut, lidah dan
seterusnya; sedangkan “2” menunjuk pada banyaknya sesuatu yang
perpasangan seperti banyaknya mata, telinga, kaki, …dan seterusnya.
Di
samping itu, sering terjadi, ketika sedang menghitung sesuatu, tangan
sang anak kecil masih ada di batu ke-4 namun ia sudah mengucapkan
“tiga”, “lima”, atau malah “enam”. Kesalahan sepele seperti ini akan
berakibat pada kesalahan menjumlah dua bilangan. Hal yang lebih parah
akan terjadi jika ia masih sering meloncat-loncat di saat membilang dari
satu sampai sepuluh. Dari apa yang dipaparkan di atas jelaslah bahwa
untuk dapat menguasai materi Matematika, seorang anak harus menguasai
beberapa kemampuan dasar lebih dahulu.
Setelah
itu, si anak harus mampu mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan
pengetahuan yang sudah dipunyainya, sehingga proses pembelajarannya
menjadi bermakna. Karenanya, Ausubel menyatakan hal berikut sebagaimana
dikutip Orton (1987:34): “If I had to reduce all of educational
psychology to just one principle, I would say this: The most important
single factor influencing learning is what the learner already knows.
Ascertain this and teach him accordingly.
”
Jelaslah bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat
menentukan berhasil tidaknya suatu proses pembelajaran. Untuk
menjelaskan tentang belajar bermakna ini, perhatikan tiga bilangan
berikut.
Menurut Anda, dari tiga bilangan berikut:
(a) 50.471.198
(b) 54.918.071
(c) 17.081.945
(b) 54.918.071
(c) 17.081.945
manakah
yang lebih mudah dipelajari atau diingat para siswa? Seorang siswa
dapat saja mengingat ketiga bilangan tersebut yaitu dengan mengucapkan
bilangan tersebut berulang-ulang beberapa kali. Namun sebagai warga
bangsa Indonesia tentunya Bapak dan Ibu Guru akan meyakini bahwa
bilangan (c) yaitu 17.081.945 merupakan bilangan yang paling mudah
dipelajari jika bilangan tersebut dikaitkan dengan tanggal 17 – 08 –
1945 yang merupakan hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Proses
pembelajaran bilangan 17.081.945 (tujuh belas juta delapan puluh satu
ribu sembilan ratus empat puluh lima) akan bermakna bagi siswa hanya
jika si siswa, dengan bantuan gurunya, dapat mengaitkannya dengan
tanggal keramat 17 Agustus 1945 yang sudah ada di dalam kerangka
kognitifnya.
Bilangan
(b) yaitu 54.918.071 akan lebih mudah dipelajari siswa daripada
bilangan (a) yaitu 50.471.198 karena bilangan (b) didapat dari tanggal
17–08–1945 dalam urutan terbalik yaitu 5491–80–71.
Bilangan
(a) merupakan bilangan yang paling sulit untuk dipelajari karena aturan
atau polanya belum diketahui. Contoh di atas menunjukkan bahwa suatu
proses pembelajaran akan lebih mudah dipelajari dan dipahami siswa jika
para guru mampu dalam memberi kemudahan bagi siswanya sedemikian
sehingga para siswa dapat mengaitkan pengetahuan yang baru dengan
pengetahuan yang sudah dimilikinya. Itulah inti dari belajar bermakna
(meaningful learning) yang telah digagas David P Ausubel.
E. PERBEDAAN BELAJAR BERMAKNA DENGAN BELAJAR HAFALAN
Menurut Ausubel dalam (Dahar, 1988: 134) belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi disajikan pada siswa, melalui penemuan atau penerimaan. Belajar penerimaan menyajikan materi dalam bentuk final, dan belajar penemuan mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang diajarkan.
E. PERBEDAAN BELAJAR BERMAKNA DENGAN BELAJAR HAFALAN
Menurut Ausubel dalam (Dahar, 1988: 134) belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi disajikan pada siswa, melalui penemuan atau penerimaan. Belajar penerimaan menyajikan materi dalam bentuk final, dan belajar penemuan mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang diajarkan.
Dimensi
kedua berkaitan dengan bagaimana cara siswa dapat mengaitkan informasi
atau materi pelajaran pada struktur kognitif yang telah dimilikinya, ini
berarti belajar bermakna. Akan tetapi jika siswa hanya mencoba-coba
menghapal informasi baru tanpa menghubungkan dengan konsep-konsep yang
telah ada dalam struktur kognitifnya, maka dalam hal ini hanya terjadi
belajar hafalan bukan belajar bermakna.
F. FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR BERMAKNA
F. FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI BELAJAR BERMAKNA
Faktor-faktor
utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah
struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam
suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat
struktur kognitif menentukan validitas dan kejelasan arti-arti yang
timbul waktu informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu;
demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi.
Jika
struktur kognitif itu stabil, dan diatur dengan baik, maka arti-arti
yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung
bertahan. Tetapi sebaliknya jika struktur kognitif itu tidak stabil,
meragukan, dan tidak teratur, maka struktur kognitif itu cenderung
menghambat belajar dan retensi.
G. PENERAPAN PEMBELAJARAN BERMAKNA
G. PENERAPAN PEMBELAJARAN BERMAKNA
Ausubel
berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa
melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne,
Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang
berada di tingkat pendidikan dasar- akan bermanfaat kalau mereka banyak
dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat
pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak
waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru
menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram, dan
ilustrasi. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses
belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam
menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan
konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
Pada
belajar bermakna siswa dapat mengasimilasi pada belajar bermakna secara
penerimaan, materi pelajaran disajikan dalam bentuk final, sedangkan
pada belajar bermakna secara penemuan, siswa diharapkan dapat menemukan
sendiri informasi konsep atau dari materi pelajaran yang disampaikan.
Belajar bermakna dapat terjadi jika siswa mampu mengkaitkan materi
pelajaran baru dengan struktur kognitif yang sudah ada. Struktur
kognitif tersebut dapat berupa fakta-fakta, konsep-konsep maupun
generalisasi yang telah diperoleh atau bahkan dipahami sebelumnya oleh
siswa. Bruner memandang manusia sebagai pemproses, pemikir, dan pencipta
informasi.
Menurut Bruner, inti belajar adalah cara-cara bagaimana manusia
memilih, mempertahankan, mentransformasikan informasi secara aktif.
Masih menurut Bruner, di dalam orang yang belajar, hal-hal yang memiliki
kesamaan atau kemiripan dihubungkan menjadi struktur yang memberikan
arti pada hal-hal yang dipelajari. Sebagaimana Piaget dalam pendidikan,
Bruner juga menyarankan pendekatan child centered approach yang
dihubungakan dengan belajar penemuan (discovery learning).
Robert Gagne membagi tipe belajar ke dalam 8 jenis yang paling rendah tingkatannya, yaitu belajar isyarat (signal learning) sampai ke yang paling tinggi yaitu pemecahan masalah (probem solving).
Robert Gagne membagi tipe belajar ke dalam 8 jenis yang paling rendah tingkatannya, yaitu belajar isyarat (signal learning) sampai ke yang paling tinggi yaitu pemecahan masalah (probem solving).
Secara
lengkap tipe-tipe belajar adalah probem solving, rule learning, concept
learning, discrimination learning, verbal learning, chaining,
stimulus-response learning dan signal learning. Dalam menjelaskan proses
belajar, Piaget menggunakan 3 istilah yang sering digunakan pada
Biologi (hal ini sesuai dengan latar belakang akademiknya), yaitu
asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Akomodasi merupakan anak untuk
menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Dalam hal ini lingkungan menuntut
anak untuk melakukan sesuatu.
Anak
harus mengubah dirinya untuk melakukan hal itu, sebagai contoh, jika
seorang anak menemukan sebuah benda yang menghalangi jalan bagi
mainannya (mobil-mobilan misalnya), anak tersebut menemukan penyelesaian
yang membuat dirinya dapat memudahkan benda yang menghalangi itu dan
mainannya dapat berjalan lagi. Asimilasi di lain pihak, adalah kemampuan
anak mengubah untuk memenuhi apa yang ia imajinasikan. Anak memiliki
ide apa yang ia inginkan dan memodifikasi lingkungan untuk mencapai hal
tersebut.
Ia
mungkin melakukan modifikasi melalui aktifitas mental, misalnya seorang
anak berumur 4 tahun menganggap sebatang sedotan minuman sebagai
tongkat ajaib atau lempengan plastik dianggapnya sebagi pedang yang
ampuh. Namun, dapat juga ia melakukannya dengan aktifitas fisik,
misalnya seorang anak membuat rumah rumahan, sebuah arca atau sebuah
candi dari pasir. Hal ini sering dihubungkan dengan ‘bermain’ (play),
yang sangat disukai oleh anak-anak. Memang antarasimilasi dan bermain
terdapat hubungan yang sangat erat.
Kita
semua tahu bahwa anak suka bermain dan asimilasi menjelaskan mekanisme
psikologis mengenai hal itu. Dalam bermain anak-anak mentransformasikan
objek-objek untuk memenuhi imajinasi yang ada pada dirinya. Secara mudah
dapat dikatakan bahwa asimilasi melibatkan proses transformasi
pengalaman di dalam pikiran, sedangkan akomodasi melibatkan proses
penyesuaian pikiran terhadap pengalaman yang baru. Pada sembarang
tahapan (stage) perkembangan, akomodasi atau asimilasi salah satu untuk
sementara mendominasi dan baru kemudian digantikan oleh yang lain.
Akhirnya suatu keseimbangan (equilibrium) akan diperoleh (untuk tahapan
tertentu) melalui proses penyeimbangan atau ekuilibrasi
(equilibration).
Ekuilibrasi
merupakan kemampuan anak untuk menyusun dan mengatur. (Sur berkomentar:
pengalaman baru = keping informasi yang baru, sedang di carikan posisi
yang tepat pada struktur pengetahuan yang sebelumnya ia miliki. Kalau
semenjak kecil ia terbiasa dengan peta konsep, maka proses belajarnya
akan menjadi lebih efektif, karena keping yang baru itu bisa segera
ditempatkan pada dahan/ cabang yang tepat atau suatu saat bisa diupdate
pada dahan/ cabang yang lebih tepat bila ditemukan informasi-informasi
yang relevan).
H. PETA KONSEP
Peta
konsep merupakan salah satu bagian dari strategi organisasi. Strategi
organisasi bertujuan membantu pebelajar meningkatkan kebermaknaan
bahan-bahan organisasi bertujuan membantu pebelajar meningkatkan
kebermaknaan bahan-bahan baru, terutama dilakukan dengan mengenakan
struktur-struktur pengorganisasian baru pada bahan-bahan tersebut.
Strategi-strategi organisasi dapat terdiri dari pengelompokan ulang
ide-ide atau istilah-istilah atau membagi ide-ide atau istilah-istilah
itu menjadi subset yang lebih kecil. Strategi- strategi ini juga terdiri
dari pengidentifikasian ide-ide atau fakta-fakta kunci dari sekumpulan
informasi yang lebih besar.
Salah
satu pernyataan dalam teori Ausubel adalah ‘bahwa faktor yang paling
penting yang mempengaruhi pembelajaran adalah apa yang telah diketahui
siswa (pengetahuan awal). Jadi supaya belajar jadi bermakna, maka konsep
baru harus dikaitkan dengan konsep-konsep yang ada dalam struktur
kognitif siswa (Suryadi menambahkan di sini –> Ini yang disebut
Teknik Konstruktivisme).
Ausubel
belum menyediakan suatu alat atau cara yang sesuai yang digunakan guru
untuk mengetahui apa yang telah diketahui oleh para siswa (Dahar, 1988:
149). Berkenaan dengan itu Novak dan Gowin (1985) dalam Dahar (1988:
149) mengemukakan bahwa cara untuk mengetahui konsep-konsep yang telah
dimiliki siswa, supaya belajar bermakna berlangsung dapat dilakukan
dengan pertolongan peta konsep.
1). Pengertian Konsep
Konsep
dapat didefenisikan dengan bermacam-macam rumusan. Salah satunya adalah
defenisi yang dikemukakan Carrol dalam Kardi (1997: 2) bahwa konsep
merupakan suatu abstraksi dari serangkaian pengalaman yang didefinisikan
sebagai suatu kelompok obyek atau kejadian. Abstraksi berarti suatu
proses pemusatan perhatian seseorang pada situasi tertentu dan mengambil
elemen-elemen tertentu, serta mengabaikan elemen yang lain.
Tidak
ada satu pun definisi yang dapat mengungkapkan arti yang kaya dari
konsep atau berbagai macam konsep-konsep yang diperoleh para siswa. Oleh
karena itu konsep-konsep itu merupakan penyajian internal dari
sekelompok stimulus, konsep-konsep itu tidak dapat diamati, dan harus
disimpulkan dari perilaku.
Dahar menyatakan bahwa konsep merupakan dasar untuk berpikir, untuk belajar aturan-aturan dan akhirnya untuk memecahkan masalah. Dengan demikian konsep itu sangat penting bagi manusia dalam berpikir dan belajar.
Dahar menyatakan bahwa konsep merupakan dasar untuk berpikir, untuk belajar aturan-aturan dan akhirnya untuk memecahkan masalah. Dengan demikian konsep itu sangat penting bagi manusia dalam berpikir dan belajar.
Pemetaan
konsep merupakan suatu alternatif selain outlining, dan dalam beberapa
hal lebih efektif daripada outlining dalam mempelajari hal-hal yang
lebih kompleks. Peta konsep digunakan untuk menyatakan hubungan yang
bermakna antara konsep-konsep dalam bentuk proposisi-proposisi.
Proposisi merupakan dua atau lebih konsep yang dihubungkan oleh
kata-kata dalam suatu unit semantik (Novak dalam Dahar 1988: 150).
George
Posner dan Alan Rudnitsky dalam Nur (2001b: 36) menyatakan bahwa peta
konsep mirip peta jalan, namun peta konsep menaruh perhatian pada
hubungan antar ide-ide, bukan hubungan antar tempat. Peta konsep bukan
hanya meggambarkan konsep-konsep yang penting melainkan juga
menghubungkan antara konsep-konsep itu. Dalam menghubungkan
konsep-konsep itu dapat digunakan dua prinsip, yaitu diferensiasi
progresif dan penyesuaian integratif.
Menurut
Ausubel dalam Sutowijoyo (2002: 26) diferensiasi progresif adalah suatu
prinsip penyajian materi dari materi yang sulit dipahami. Sedang
penyesuaian integratif adalah suatu prinsip pengintegrasian informasi
baru dengan informasi lama yang telah dipelajari sebelumnya. Oleh karena
itu belajar bermakna lebih mudah berlangsung, jika konsep-konsep baru
dikaitkan dengan konsep yang inklusif.
Untuk
membuat suatu peta konsep, siswa dilatih untuk mengidentifikasi ide-ide
kunci yang berhubungan dengan suatu topik dan menyusun ide-ide tersebut
dalam suatu pola logis. Kadang-kadang peta konsep merupakan diagram
hirarki, kadang peta konsep itu memfokus pada hubungan sebab akibat.
Agar pemahaman terhadap peta konsep lebih jelas, maka Dahar (1988: 153)
mengemukakan ciri-ciri peta konsep sebagai berikut:
1)
Peta konsep (pemetaan konsep) adalah suatu cara untuk memperlihatkan
konsep-konsep dan proposisi-proposisi suatu bidang studi, apakah itu
bidang studi fisika, kimia, biologi, matematika dan lain-lain. Dengan
membuat sendiri peta konsep siswa “melihat” bidang studi itu lebih
jelas, dan mempelajari bidang studi itu lebih bermakna.
2)
Suatu peta konsep merupakan suatu gambar dua dimensi dari suatu bidang
studi atau suatu bagian dari bidang studi. Ciri inilah yang
memperlihatkan hubungan-hubungan proposisional antara konsep-konsep. Hal
inilah yang membedakan belajar bermakna dari belajar dengan cara
mencatat pelajaran tanpa memperlihatkan hubungan antara konsep-konsep.
3)
Ciri yang ketiga adalah mengenai cara menyatakan hubungan antara
konsep-konsep. Tidak semua konsep memiliki bobot yang sama. Ini berarti
bahwa ada beberapa konsep yang lebih inklusif dari pada konsep-konsep
lain.
4)
Ciri keempat adalah hirarki. Bila dua atau lebih konsep digambarkan di
bawah suatu konsep yang lebih inklusif, terbentuklah suatu hirarki pada
peta konsep tersebut.
Peta
konsep dapat menunjukkan secara visual berbagai jalan yang dapat
ditempuh dalam menghubungkan pengertian konsep di dalam permasalahanya.
Peta konsep yang dibuat murid dapat membantu guru untuk mengetahui
miskonsepsi yang dimiliki siswa dan untuk memperkuat pemahaman
konseptual guru sendiri dan disiplin ilmunya. Selain itu peta konsep
merupakan suatu cara yang baik bagi siswa untuk memahami dan mengingat
sejumlah informasi baru (Arends, 1997: 251).
2). Cara Menyusun Peta Konsep
Menurut
Dahar (1988:154) peta konsep memegang peranan penting dalam belajar
bermakna. Oleh karena itu siswa hendaknya pandai menyusun peta konsep
untuk meyakinkan bahwa siswa telah belajar bermakna. Langkah-langkah
berikut ini dapat diikuti untuk menciptakan suatu peta konsep.
Langkah 1: mengidentifikasi ide pokok atau prinsip yang melingkupi sejumlah konsep.
Langkah 2: mengidentifikasi ide-ide atau konsep-konsep sekunder yang menunjang ide utama
Langkah 3: menempatkan ide utama di tengah atau di puncak peta tersebut
Langkah
4: mengelompokkan ide-ide sekunder di sekeliling ide utama yang secara
visual menunjukan hubungan ide-ide tersebut dengan ide utama.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dikemukakan langkah-langkah menyusun peta konsep sebagai berikut:
1)Memilih suatu bahan bacaan
2)Menentukan konsep-konsep yang relevan
3)Mengelompokkan (mengurutkan ) konsep-konsep dari yang paling inklusif ke yang paling tidak inklusif
4)Menyusun
konsep-konsep tersebut dalam suatu bagan, konsep-konsep yang paling
inklusif diletakkan di bagian atas atau di pusat bagan tersebut.
Dalam
menghubungkan konsep-konsep tersebut dihubungkan dengan kata hubung.
Misalnya “merupakan”, “dengan”, “diperoleh”, dan lain-lain.
c. Peta Konsep sebagai Alat Ukur Alternatif
Tes
seperti pilihan ganda yang selama ini dipandang sebagai alat ukur (uji)
keberhasilan siswa dalam menempuh jenjang pendidikan tertentu, bukanlah
satu-satunya alat ukur untuk menentukan keberhasilan siswa. Tingkat
keberhasilan siswa dalam menyerap pengetahuan sangat beragam, maka
diperlukan alat ukur yang beragam. Peta konsep adalah salah satu bentuk
penilaian kinerja yang dapat mengukur siswa dari sisi yang berbeda.
Penilaian
kinerja adalah bentuk penilaian yang digunakan untuk menilai kemampuan
dan keterampilan siswa berdasarkan pada pengamatan tingkah lakunya
selama melakukan penilaian terhadap hasil kerja siswa selama kegiatan.
Menurut Tukman dalam Sutowijoyo (2002: 31) penilaian kinerja adalah
penilaian yang meliputi hasil dan proses, yang biasanya menggunakan
material atau suatu peralatan (equipment). Penilaian kinerja dapat
digunakan terutama untuk mengukur tujuan pembelajaran yang tidak dapat
diukur dengan baik bila menggunakan tes obyektif. Penilaian kinerja
mengharuskan siswa secara aktif mendemonstrasikan apa yang mereka
ketahui.
Yang
paling penting, penilaian kinerja dapat memberi motivasi untuk
meningkatkan pengajaran, pemahaman terhadap apa yang mereka perlu
ketahui dan yang dapat mereka kerjakan. Berdasarkan teori belajar
kognitif Ausubel, Novak dan Gowin (1984) dalam Dahar (1988: 143)
menawarkan skema penilaian yang terdiri atas: Struktur hirarki,
perbedaan progresif, dan rekonsiliasi integratif.
Struktur
hirarkis, yaitu struktur kognitif yang diatur secara hirarki dengan
konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang lebih inklusif, lebih umum,
superordinat terhadap konsep-konsep dan proposisi-proposisi yang kurang
inklusif dan lebih khusus. Perbedaan progresif menyatakan bahwa belajar
bermakna merupakan proses yang kontinyu, dimana konsep-konsep baru
memperoleh lebih banyak arti dengan bentuk lebih banyak kaitan-kaitan
proporsional.
Jadi konsep-konsep tidak pernah tuntas dipelajari, tetapi selalu
dipelajari, dimodifikasi, dan dibuat lebih inklusif. Rekonsiliasi
integratif menyatakan bahwa belajar bermakna akan meningkat bila siswa
menyadari akan perlunya kaitan-kaitan baru antara kumpulan-kumpulan
konsep atau proposisi. Dalam peta konsep, rekonsiliasi integratif ini
diperlihatkan dengan kaitan-kaitan silang antara kumpulan-kumpulan
konsep (Dahar,1988: 162)
Selanjutnya
Novak dan Gowin memberikan suatu aturan untuk mengikuti penilaian
numerik jika skoring dipandang perlu. Pertama, skoring didasarkan atas
preposisi yang valid. Kedua, untuk menghitung level hirarkis yang valid
dan untuk menskor tiap level sebanyak hubungan yang dibuat. Ketiga,
crosslink yang menunjukan hubungan valid antara dua kumpulan (segmen)
yang berbeda adalah lebih penting daripada level hirarkis, karena
mungkin saja ini pertanda adanya penyesuaian yang integratif. Keempat,
diharapkan siswa dapat memberikan contoh yang spesifik dalam beberapa
kasus untuk meyakinkan bahwa siswa mengetahui peristiwa atau obyek yang
ditunjukan oleh label konsep.
Jenis-jenis Peta Konsep
Menurut
Nur (2000) dalam Erman (2003: 24) peta konsep ada empat macam yaitu:
pohon jaringan (network tree), rantai kejadian (events chain), peta
konsep siklus (cycle concept map), dan peta konsep laba-laba (spider
concept map).
1) Pohon Jaringan.
Ide-ide
pokok dibuat dalam persegi empat, sedangkan beberapa kata lain
dihubungkan oleh garis penghubung. Kata-kata pada garis penghubung
memberikan hubungan antara konsep-konsep. Pada saat mengkonstruksi suatu
pohon jaringan, tulislah topik itu dan daftar konsep-konsep utama yang
berkaitan dengan topik itu. Daftar dan mulailah dengan menempatkan
ide-ide atau konsep-konsep dalam suatu susunan dari umum ke khusus.
Cabangkan konsep-konsep yang berkaitan itu dari konsep utama dan berikan
hubungannya pada garis-garis itu (Nur dalam Erman 2003: 25)
Pohon jaringan cocok digunakan untuk memvisualisasikan hal-hal:
- Menunjukan informasi sebab-akibat
- Suatu hirarki
- Prosedur yang bercabang
Istilah-istilah yang berkaitan yang dapat digunakan .
hubungannya pada garis-garis itu (Nur dalam Erman 2003: 25)
Pohon jaringan cocok digunakan untuk memvisualisasikan hal-hal:
- Menunjukan informasi sebab-akibat
- Suatu hirarki
- Prosedur yang bercabang
Istilah-istilah yang berkaitan yang dapat digunakan .
1) Rantai Kejadian.
Nur dalam Erman (2003:26) mengemukakan bahwa peta konsep rantai kejadian dapat digunakan untuk memerikan suatu urutan kejadian, langkah-langkah dalam suatu prosedur, atau tahap-tahap dalam suatu proses. Misalnya dalam melakukan eksperimen. Rantai kejadian cocok digunakan untuk memvisualisasikan hal-hal:
- Memerikan tahap-tahap suatu proses
- Langkah-langkah dalam suatu prosedur
- Suatu urutan kejadian
Nur dalam Erman (2003:26) mengemukakan bahwa peta konsep rantai kejadian dapat digunakan untuk memerikan suatu urutan kejadian, langkah-langkah dalam suatu prosedur, atau tahap-tahap dalam suatu proses. Misalnya dalam melakukan eksperimen. Rantai kejadian cocok digunakan untuk memvisualisasikan hal-hal:
- Memerikan tahap-tahap suatu proses
- Langkah-langkah dalam suatu prosedur
- Suatu urutan kejadian
2) Peta Konsep Siklus
Dalam
peta konsep siklus, rangkaian kejadian tidak menghasilkan suatu hasil
akhir. Kejadian akhir pada rantai itu menghubungkan kembali ke kejadian
awal. Seterusnya kejadian akhir itu menhubungkan kembali ke kejadian
awal siklus itu berulang dengan sendirinya dan tidak ada akhirnya. Peta
konsep siklus cocok diterapkan untuk menunjukan hubungan bagaimana suatu
rangkaian kejadian berinteraksi untuk menghasilkan suatu kelompok hasil
yang berulang-ulang. Gambar 2.5 memperlihatkan siklus tentang hubungan
antara siang dan malam.
3) Peta Konsep Laba-laba
Peta
konsep laba-laba dapat digunakan untuk curah pendapat. Dalam melakukan
curah pendapat ide-ide berasal dari suatu ide sentral, sehingga dapat
memperoleh sejumlah besar ide yang bercampur aduk.
Banyak
dari ide-ide tersebut berkaitan dengan ide sentral namun belum tentu
jelas hubungannya satu sama lain. Kita dapat memulainya dengan
memisah-misahkan dan mengelompokkan istilah-istilah menurut kaitan
tertentu sehingga istilah itu menjadi lebih berguna dengan menuliskannya
di luar konsep utama. Peta konsep laba-laba cocok digunakan untuk
memvisualisasikan hal-hal:
a) Tidak menurut hirarki, kecuali berada dalam suatu kategori
b) Kategori yang tidak paralel
c) Hasil curah pendapat
b) Kategori yang tidak paralel
c) Hasil curah pendapat
Proses
mengajarkan strategi belajar digunakan dua pendekatan pengajaran utama,
yaitu pengajaran langsung dan pengajaran terbalik (Nur 2000b: 45).
Pengajaran langsung merupakan suatu pendekatan mengajar yang dapat
membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh informasi
yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah.
Dalam melatihkan strategi belajar secara efektif memerlukan pengetahuan
deklaratif, prosedural, dan kondisional tentang strategi-strategi
belajar. Pengetahuan deklaratif tentang strategi-strategi tertentu
termasuk bagaimana strategi itu didefinisikan, mengapa strategi itu
berhasil, dan bagaimana strategi itu serupa atau berbeda dengan
strategi-strategi lain. Siswa juga memerlukan pengetahuan prosedural,
sehingga mereka dapat menggunakan berbagai macam strategi secara
efektif.
Di samping itu juga menggunakan pengetahuan kondisional untuk mengetahui kapan dan mengapa menggunakan strategi tertentu.
Salah satu alasan menggunakan pengajaran langsung dalam mengajarkan strategi belajar adalah karena pengajaran langsung diciptakan secara khusus untuk mempermudah siswa dalam mempelajari pengetahuan deklaratif dan prosedural yang telah direncanakan dengan baik serta dapat mempelajarinya selangkah demi selangkah (Arends 1997) dalam Nur (2000b: 46).
Salah satu alasan menggunakan pengajaran langsung dalam mengajarkan strategi belajar adalah karena pengajaran langsung diciptakan secara khusus untuk mempermudah siswa dalam mempelajari pengetahuan deklaratif dan prosedural yang telah direncanakan dengan baik serta dapat mempelajarinya selangkah demi selangkah (Arends 1997) dalam Nur (2000b: 46).
Pada
Tabel 2.2 sintaks pengajaran langsung yang diadaptasikan untuk
mengajarkan strategi belajar, dan dilengkapi dengan teori yang mendukung
sebagai landasan pelaksanaan pengajaran strategi belajar.
Tahap-tahap Pengajaran Langsung dalam Melatihkan Strategi Belajar
Tahap1
1. Menyampaikan tujuan pembelajaran.
2. Memotivasi siswa.
Tahap 2
1. Secara klasikal menjelaskan strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep.
2. Memodelkan strategi Mengarisbawahi dan membuat peta konsep.
1. Menyampaikan tujuan pembelajaran.
2. Memotivasi siswa.
Tahap 2
1. Secara klasikal menjelaskan strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep.
2. Memodelkan strategi Mengarisbawahi dan membuat peta konsep.
Tahap 3
Melatihkan siswa menggunakan strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep dibawah bimbingan guru.
Melatihkan siswa menggunakan strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep dibawah bimbingan guru.
Tahap 4
1. Memeriksa pemahaman siswa terhadap strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep
2. Memberi umpan balik hasil pemahaman siswa terhadap strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep.
1. Memeriksa pemahaman siswa terhadap strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep
2. Memberi umpan balik hasil pemahaman siswa terhadap strategi menggarisbawahi dan pemetaan konsep.
Tahap 5
Melatih sisawa untuk menerapkan strategi belajar enggarisbawahi dan membuat peta konsep secara mandiri.
Melatih sisawa untuk menerapkan strategi belajar enggarisbawahi dan membuat peta konsep secara mandiri.
Tahap 6
1. Mengevaluasi tugas latihan menggarisbawahi dan membuat peta konsep.
2. Membimbing siswa untuk merangkum pelajaran
1. Mengevaluasi tugas latihan menggarisbawahi dan membuat peta konsep.
2. Membimbing siswa untuk merangkum pelajaran
I Pembelajaran Fisika
Fisika
adalah bagian dari sains (IPA), pada hakikatnya adalah kumpulan
pengetahuan, cara berpikir, dan penyelidikan. IPA sebagai kumpulan
pengetahuan dapat berupa fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, dan
model. IPA sebagai cara berpikir merupakan aktivitas yang berlangsung di
dalam pikiran orang yang berkecimpung di dalamnya karena adanya rasa
ingin tahu dan hasrat untuk memahami fenomena alam. IPA sebagai cara
penyelidikan merupakan cara bagaimana informasi ilmiah diperoleh, diuji,
dan divalidasikan.
Fisika
dipandang sebagai suatu proses dan sekaligus produk sehingga dalam
pembelajarannya harus mempertimbangkan strategi atau metode pembelajaran
yang efektif dan efesien yaitu salah satunya melalui kegiatan praktik.
Hal ini dikarenakan melalui kegiatan praktik, siswa melakukan olah pikir
dan juga olah tangan.
Kegiatan
praktik adalah percobaan yang ditampilkan guru dan atau siswa dalam
bentuk demonstrasi maupun percobaan oleh siswa yang berlangsung di
laboratorium atau tempat lain. Adapun jenis-jenis kegiatan praktik
dikelompokkan menjadi 4, yaitu eksperimen standar, eksperimen penemuan,
demonstrasi, dan proyek.
Kegiatan praktik dalam pembelajaran fisika mempunyai peran motivasi dalam belajar, memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan sejumlah keterampilan, dan meningkatkan kualitas belajar siswa.
Kegiatan praktik dalam pembelajaran fisika mempunyai peran motivasi dalam belajar, memberi kesempatan pada siswa untuk mengembangkan sejumlah keterampilan, dan meningkatkan kualitas belajar siswa.
Macam-Macam Pendekatan dalam pembelajaran Fisika
Strategi
atau teknik, metode dan pendekatan merupakan tiga hal yang berbeda
meskipun penggunaannya sering bersama-sama dijumpai dalam pembelajaran.
Pendekatan merupakan teori atau asumsi. Metode adalah pengembangan yang
lebih konkret dari teori tersebut, berupa prosedur-prosedur berdasarkan
teori tersebut di dalam berbagai bentuk kegiatan kelas.
Meskipun telah disebutkan bahwa “tidak ada satu pun pendekatan yang paling cocok untuk satu pelajaran”, tetapi karena pusat pelajaran fisika adalah eksperimen dan merupakan bagian tak terpisahkan dari pelajaran fisika itu sendiri maka melalui eksperimen siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dengan gejala fisika yang dipelajari.
Meskipun telah disebutkan bahwa “tidak ada satu pun pendekatan yang paling cocok untuk satu pelajaran”, tetapi karena pusat pelajaran fisika adalah eksperimen dan merupakan bagian tak terpisahkan dari pelajaran fisika itu sendiri maka melalui eksperimen siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dengan gejala fisika yang dipelajari.
Fisika
sebagai ilmu yang memiliki karakteristik tersendiri dalam
mempelajarinya tidak cukup hanya melalui minds-on, tetapi juga harus
melalui hands-on, seperti layaknya ilmuwan ketika menjelajahi alam ini.
Secara teoretis dan dengan prosedur-prosedur yang tepat kerja
laboratoriumlah pendekatan yang tepat digunakan dalam pembelajaran
fisika.
Macam-macam
kerja laboratorium dapat dibedakan dalam deduktif atau verifikasi,
induktif, keterampilan teknis, tanya jawab, dan keterampilan proses.
Umumnya pendekatan-pendekatan tersebut dapat meningkatkan hal-hal
sebagai berikut; sikap terhadap fisika, sikap ilmiah, penemuan ilmiah,
pengembangan konsep, dan keterampilan-keterampilan teknis bagi siswa.
Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan Keterampilan Proses
Cara
berpikir dalam sains, fisika misalnya, adalah keterampilan-keterampilan
proses. Keterampilan proses sains dibedakan dalam dua bagian besar,
yaitu keterampilan dasar proses sains, dimulai dari observasi sampai
dengan meramal, dan keterampilan terpadu proses sains, dari identifikasi
variabel sampai dengan yang paling kompleks, yaitu eksperimen.
Keterampilan
dasar proses sains adalah hal-hal yang dikerjakan ketika siswa
mengerjakan sains, misalnya mengobservasi pengaruh suhu terhadap faktor
redaman ayunan teredam.
Dalam keterampilan terpadu proses sains, siswa dipandu untuk melakukan eksperimen melalui penggunaan seluruh keterampilan-keterampilan proses yang siswa miliki.
Melalui eksperimen suatu pembelajaran fisika dikatakan utuh, sebab eksperimen di laboratorium merupakan bagian integral dari konsep, prinsip dan hukum fisika akan dipelajari.
Dalam keterampilan terpadu proses sains, siswa dipandu untuk melakukan eksperimen melalui penggunaan seluruh keterampilan-keterampilan proses yang siswa miliki.
Melalui eksperimen suatu pembelajaran fisika dikatakan utuh, sebab eksperimen di laboratorium merupakan bagian integral dari konsep, prinsip dan hukum fisika akan dipelajari.
Eksperimen
dapat dikatakan sebagi dewa dalam pembelajaran fisika, tetapi harus
diingat bahwa dalam pelaksanaannya memerlukan biaya dan tenaga yang
besar sehingga sebagai guru fisika yang sukses harus betul-betul ahli
dalam mendesain kegiatan eksperimen untuk siswanya. Namun demikian,
hendaknya hal tersebut tidak menjadi momok bagi guru dalam mempersiapkan
penggunaannya di kelas, akan tetapi justru menjadi tantangan bagi guru
untuk mempersiapkan eksperimen sebaik-baiknya agar pembelajaran fisika
betul-betul efektif.
Strategi Belajar-mengajar Menurut Pandangan Konstruktivisme
Pandangan konstruktivisme sangat menekankan pentingnya gagasan yang sudah ada pada diri siswa untuk dikembangkan dalam proses belajar-mengajar. Dengan demikian, pemahaman konsep sangat ditekankan.
Pandangan konstruktivisme sangat menekankan pentingnya gagasan yang sudah ada pada diri siswa untuk dikembangkan dalam proses belajar-mengajar. Dengan demikian, pemahaman konsep sangat ditekankan.
Belajar
merupakan proses aktif dan kompleks dalam upaya memperoleh pengetahuan
baru. Proses yang terjadi merupakan proses kognitif sebagai interaksi
antara kegiatan persepsi, imajinasi, organisasi, dan elaborasi. Proses
pengorganisasian dan elaborasi memungkinkan terbentuk hubungan
antarkonsep. Hubungan antarkonsep dapat digambarkan sebagai peta konsep.
Peta konsep dapat digunakan sebagai alat untuk mengetahui hasil belajar
dan adanya miskonsepsi.
Miskonsepsi
terjadi karena siswa masih menggunakan gagasan pribadinya dan
pembelajaran belum dapat mengubah pemahaman siswa menjadi gagasan baru
yang benar. Perubahan ini dapat berlangsung dengan mulus asalkan pada
siswa ada perasaan tidak puas terhadap pemahaman yang salah, siswa
mempunyai pengetahuan optimal tentang konsep yang benar, konsep yang
benar dapat masuk akal dan mempunyai daya memprediksi serta daya
eksplanasi.
Strategi pembelajaran dapat dikembangkan dan siklus pembelajaran dan siklus belajar. Hal ini untuk memungkinkan terjadi keselarasan antara pola pikir yang dituntut oleh guru dengan pola pikir siswa.
Strategi pembelajaran dapat dikembangkan dan siklus pembelajaran dan siklus belajar. Hal ini untuk memungkinkan terjadi keselarasan antara pola pikir yang dituntut oleh guru dengan pola pikir siswa.
Pengorganisasian
materi sajian juga penting karena dalam proses belajar-mengajar terjadi
hubungan segitiga antara pembelajar, pengajar dan bahan ajar.
Disarankan pengorganisasian materi subjek berorientasi pada kerangka
pemecahan masalah.
Pendekatan Discovery dan Inquiry
Pendekatan
discovery merupakan pendekatan mengajar yang memerlukan proses mental,
seperti mengamati, mengukur, menggolongkan, menduga, men-jelaskan, dan
mengambil kesimpulan.
Pada
kegiatan discovery guru hanya memberikan masalah dan siswa disuruh
memecahkan masalah melalui percobaan. Pada pendekatan inquiry, siswa
mengajukan masalah sendiri sesuai dengan pengarahan guru. Keterampilan
mental yang dituntut lebih tinggi dari discovery antara lain: merancang
dan melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan
mengambil kesimpulan.
Pendekatan
inquiry adalah pendekatan mengajar di mana siswa merumuskan masalah,
mendesain eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data sampai
mengambil keputusan sendiri.
Pendekatan inquiry harus memenuhi empat kriteria ialah kejelasan, kesesuaian ketepatan dan kerumitannya.
Pendekatan inquiry harus memenuhi empat kriteria ialah kejelasan, kesesuaian ketepatan dan kerumitannya.
Setelah
guru mengundang siswa untuk mengajukan masalah yang erat hubungannya
dengan pokok bahasan yang akan diajarkan, siswa akan terlibat melalui 5
fase ialah:
Fase 1 : siswa menghadapi masalah yang dianggap tantangan.
Fase
2 : siswa mengumpulkan data untuk menguji kondisi, sifat khusus dari
objek teliti dan pengujian terhadap situasi masalah yang dihadapi.
Fase
3 : siswa mengumpulkan data untuk memisahkan variabel yang relevan,
berhipotesis dan bereksperimen untuk menguji hipotesis sehingga
diperoleh hubungan sebab akibat.
Fase 4 : merumuskan penemuan inquiry hingga diperoleh penjelasan, pernyataan, atau prinsip yang lebih formal.
Fase
5 : melakukan analisis terhadap proses inquiry, strategi yang
dilakukan oleh guru maupun siswa. Analisis diperlukan untuk membantu
siswa terarah pada mencari sebab akibat.
Ausubel
(dalam Dahar, 1988:137) mengemukakan bahwa belajar dikatakan bermakna
(meaningful) jika informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun
sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik sehingga
peserta didik dapat mengaitkan informasi barunya dengan struktur
kognitif yang dimilikinya.
Ausubel
(dalam Dahar ,1988 :142) juga menyatakan bahwa agar belajar bermakna
terjadi dengan baik dibutuhkan beberapa syarat, yaitu:
(1). Meteri yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial,
(2).
Anak yang akan belajar harus bertujuan melaksanakan belajar bermakna
sehingga mempunyai kesiapan dan niat untuk belajar bermakna.
Penerapan Model Kognitif dalam pembelajaran
Lima Prinsip Belajar Mengenali betul apa yang menarik untuk kita?
Jika kita mengetahui betul apa sesungguhnya yang menarik bagi kita, tentu akan lebih mudah mencari ragam informasi penting yang akan kita pelajari. Tak ada seorang pun yang mampu memberikan informasi tentang apa yang menarik untuk kita pelajari kecuali kita sendiri.
Lima Prinsip Belajar Mengenali betul apa yang menarik untuk kita?
Jika kita mengetahui betul apa sesungguhnya yang menarik bagi kita, tentu akan lebih mudah mencari ragam informasi penting yang akan kita pelajari. Tak ada seorang pun yang mampu memberikan informasi tentang apa yang menarik untuk kita pelajari kecuali kita sendiri.
Ada
baiknya, sekali waktu, Anda berhenti dulu belajar, lalu tanyakan pada
diri Anda sendiri, untuk apa Anda belajar? Jika Anda cukup punya
alasannya, tak salah bila Anda mencoba mengujinya dengan mengikuti
beberapa tes untuk melihat tingkat pemahaman kita dan cara untuk
meningkatkannya. Hal terpenting yang perlu diingat adalah seberapa cepat
pun kita bisa memahami suatu informasi, maka informasi itu dengan mudah
bisa hilang dari ingatan jika ternyata informasi tersebut bukan seperti
sesuatu yang menjadi inti ketertarikan kita.
Kenalilah kepribadian diri sendiri. Jika kita tahu betul siap kita dan apa yang kita inginkan, maka mempelajari sesuatu yang sesuai dengan keinginan dan kepribadian kita menjadi lebih mudah dilakukan. Sebab, apapun yang akan kita pelajari dan pahami, seringkali menjadi sia-sia jika ternyata tak sesuai dengan kepribadian kita.
Kenalilah kepribadian diri sendiri. Jika kita tahu betul siap kita dan apa yang kita inginkan, maka mempelajari sesuatu yang sesuai dengan keinginan dan kepribadian kita menjadi lebih mudah dilakukan. Sebab, apapun yang akan kita pelajari dan pahami, seringkali menjadi sia-sia jika ternyata tak sesuai dengan kepribadian kita.
Rekam
semua informasi dalam kata. Langkah yang paling mudah untuk memahami,
mengingat dan mempelajari sesuatu adalah dengan kata. Jadi, langkah yang
paling mudah dan bijaksana adalah bila kita terbiasa merekam semua
informasi itu dengan cara menuliskannya kembali dalam bentuk apa saja.
Gambar, coretan dan yang terbaik adalah catatan tertulis buatan tangan
sendiri.
Belajar
bersama orang lain. Cara termudah untuk belajar sesungguhnya adalah
bila kita melakukannya secara bersama-sama. Prinsip belajar ini hampir
selalu efektif bagi setiap orang, apa pun karakter belajar yang
dimilikinya. Selain itu, belajar juga menjadi terasa lebih menyenangkan
dan ringan, bila dilakukan secara bersama-sama.
Hargai
diri sendiri. Belajar memahami dan menyerap informasi akan menjadi
lebih terasa bermanfaat dan berarti bila kita menghargainya. Jadi,
rencanakan apa yang Anda akan pelajari dan pahami. Setelah itu, cobalah
membuat jeda di antara waktu belajar yang Anda laklukan. Setelah itu,
lihat seberapa besar tingkat keberhasilan Anda dalam mempelajari suatu
informasi atau fakta tertentu. Bila Anda merasa itu berhasil, maka Anda
layak menghargai jerih-payah Anda belajar dengan cara apa saja.
Misalnya, merayakannya dengan makan enak atau membeli sesuatu yang bisa
mengingatkan Anda akan keberhasilan yang Anda pernah capai.
B. Belajar Penangkapan (reception learning)
Menurut
Ausubel Belajar penangkapan pertama kali dikembangkan oleh David
Ausubel sebagai jawaban atas ketidakpuasan model belajar discovery yang
dikembangkan oleh Jerome Bruner tersebut. Menurut Ausubel , siswa tidak
selalu mengetahui apa yang penting atau relevan untuk dirinya sendiri
sehigga mereka memerlukan motivasi eksternal untuk melakukan kerja
kognitif dalam mempelajari apa yang telah diajarkan di sekolah. Ausubel
menggambarkan model pembelajaran ini dengan nama belajar penangkapan.
Para pakar teori belajar penangakapan menyatakan bahwa tugas guru adalah:
a. Menstrukturkan situasi belajar.
b. Memilih materi pembelajaran yang sesuai dengan siswa.
c. Menyajikan materi pembelajaran secara terorganisir yang dimulai dari gagasan Inti belajar penangkapan yaitu pengajaran ekspositori , yakni pembelajaran sistematik yang direncanakan oleh guru mengenai informasi yang bermakna (meaningful information).
a. Menstrukturkan situasi belajar.
b. Memilih materi pembelajaran yang sesuai dengan siswa.
c. Menyajikan materi pembelajaran secara terorganisir yang dimulai dari gagasan Inti belajar penangkapan yaitu pengajaran ekspositori , yakni pembelajaran sistematik yang direncanakan oleh guru mengenai informasi yang bermakna (meaningful information).
Pembelajaran ekspositori itu terdiri dari tiga tahap, yaitu:
1. Penyajian advance organizer
Advance organizer merupakan Pernyataan umum yang memperkenalkan bagian-bagian utama yang tercakup dalam urutan pengajaran. Advance organiberfungsi untuk menghubungakan gagasan yang disajikan di dalam pelajaran dengan informasi yang telah berda didalam pikiran siswa, dan memberikan skema organisasional terhadap informasi yang sangat spesifik yang disajikan.
Advance organizer merupakan Pernyataan umum yang memperkenalkan bagian-bagian utama yang tercakup dalam urutan pengajaran. Advance organiberfungsi untuk menghubungakan gagasan yang disajikan di dalam pelajaran dengan informasi yang telah berda didalam pikiran siswa, dan memberikan skema organisasional terhadap informasi yang sangat spesifik yang disajikan.
2. Penyajian materi atau tugas belajar.
Dalam tahap ini, guru menyajikan metri pembelajaran yang baru
dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, film, atau menyajikan tugas-tugas belajar kepada siswa . Ausubel menekankan tentang pentingnya mempertahankan perhatian siswa, dan juaga pentingya pengorganisasian meteri pelajaran yang dikaitakan dengan struktur yang terdapat didalam advance organizer. Dia menyarankan suatu proses yang disebut dengan diferensiasi progresif, dimna pembelajaran berlangsung setahap demi setahap demi setahap, dimulai dari konsep umum menuju kepada informasi spesifik, contoh-contoh ilustratif, dan membandingkan antara konsep lama dengan konsep baru.
Dalam tahap ini, guru menyajikan metri pembelajaran yang baru
dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, film, atau menyajikan tugas-tugas belajar kepada siswa . Ausubel menekankan tentang pentingnya mempertahankan perhatian siswa, dan juaga pentingya pengorganisasian meteri pelajaran yang dikaitakan dengan struktur yang terdapat didalam advance organizer. Dia menyarankan suatu proses yang disebut dengan diferensiasi progresif, dimna pembelajaran berlangsung setahap demi setahap demi setahap, dimulai dari konsep umum menuju kepada informasi spesifik, contoh-contoh ilustratif, dan membandingkan antara konsep lama dengan konsep baru.
3. Memperkuat organisasi kognitif.
Ausubel menyarankan bahwa guru mencoba mengikatkan informasi baru ke dalam stuktur yang telah direncanakan di dalam permulaan pelajaran, degan cara mengingatkan siswa bahwa rincian yang ebrsifat spesifik itu berkaitan dengan gambaran informasi yang bersifat umum. Pada akhir pembelajaran ini siswa diminta mengjukan pertanyaan pada diri sendiri mengenai tingkat pemahamannya terhadap pelajaran yang baru dipelajari, menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki dan pengorgnaisasian matyeri pembelajaran sebagaiman yang dideskripsikan didalam advance organizer samping itu juga memberikan pertanyanan kepada siswa dalam rangka menjajagi keluasan pemahaman siswa tentang isi pelajaran.
Belajar Karakteristik Teori Langkah Penerapan Dalam pembelajaran
Belajar Kognitif Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman.
Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkahlaku yang bisa diamati. Setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya
Ausubel menyarankan bahwa guru mencoba mengikatkan informasi baru ke dalam stuktur yang telah direncanakan di dalam permulaan pelajaran, degan cara mengingatkan siswa bahwa rincian yang ebrsifat spesifik itu berkaitan dengan gambaran informasi yang bersifat umum. Pada akhir pembelajaran ini siswa diminta mengjukan pertanyaan pada diri sendiri mengenai tingkat pemahamannya terhadap pelajaran yang baru dipelajari, menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki dan pengorgnaisasian matyeri pembelajaran sebagaiman yang dideskripsikan didalam advance organizer samping itu juga memberikan pertanyanan kepada siswa dalam rangka menjajagi keluasan pemahaman siswa tentang isi pelajaran.
Belajar Karakteristik Teori Langkah Penerapan Dalam pembelajaran
Belajar Kognitif Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman.
Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkahlaku yang bisa diamati. Setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya
1.
Kognitif Bruner Model ini sangat membebaskan peserta didik untuk
belajar sendiri. Teori ini mengarahkan peserta didik untuk belajar
secara discovery learning. 1. Menentukan tujuan-tujuan instruksional
2. Memilih materi pelajaran
3. Menentukan topik-topik yang akan dipeserta didiki
4. Mencari contoh-contoh, tugas, ilustrasi dsbnya., yang dapat digunakan peserta didik untuk bahan belajar
5. Mengatur topik peserta didik dari konsep yang paling kongkrit ke yang abstrak, dari yang sederhana ke kompleks
6. Mengevaluasi proses dan hasil belajar
1.
Bermakna Ausubel Dalam aplikasinya menuntut peserta didik belajar
secara deduktif (dari umum ke khusus) dan lebih mementingkan aspek
struktur kognitif peserta didik 1. Menentukan tujuan-tujuan
instruksional
2. Mengukur kesiapan peserta didik (minat, kemampuan, struktur kognitif)baik melalui tes awal, interviw, pertanyaan dll.
3. Memilih materi pelajaran dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep-konsep kunci
4. Mengidentifikasikan prinsip-prinsip yang harus dikuasai peserta didik dari materi tsb.
5. Menyajikan suatu pandangan secara menyelurh tentang apa yang harus dikuasai pesertadidik.
6.
Membuat dan menggunakan "advanced organizer" paling tidak dengan cara
membuat rangkuman terhadap materi yang baru disajikan, dilengkapi dengan
uraian singkat yang menunjukkan relevansi (keterkaiatan) materi yang
sudah diberikan dengan yang akan diberikan.
7.
Mengajar peserta didik untuk memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip
yang sudah ditentukan dengan memberi fokus pada hubungan yang terjalin
antara konsep yang ada
8. Mengevaluasi proses dan hasil belajar
Inti
konstruktivisme adalah bahwa individu menginterpretasikan stimuli
berdasarkan pengetahuan yang telah mereka miliki atau struktur kognitif
yang telah terekam dalam otak dan membangun pengertian secara masuk
akal. Proses belajar yang demikian merupakan proses belajar yang
bermakna (Ausubel, 1978, dalam Entwistle, 1987: 135). Di samping alasan
tersebut, alasan lain adalah belajar yang bermakna, kreativitas,
mempunyai peranan yang sangat penting bagi peningkatan mutu pendidikan.
Komentar
Posting Komentar